Wednesday, June 28, 2006

Indahnya Jika Saling Mengalah

"Geddubbrrakkk"
Sebuah tambrakan terjadi di sebuah pertigaan di daerah pinggiran Tangerang. Sebuah bus 3/4 menabrak motor. Bus dengan laju yang agak lambat itu seakan meminta izin kepada semua pengguna jalan kalau akan membelok ke kanan. Namun tanpa disadari, ada sebuah motor berpenumpang menyalip dengan laju kencang. Kontan bus yang tidak sempat mengerem itu menabrak motor hingga jatuh. Tidak ada yang terluka, hanya motor jatuh menyisakan sedikit goresan.
"Turun......!!!!!"
Teriak pengendara motor dengan nada tinggi kepada sopir bus tanpa memperdulikan permintaan sopir bus yang ingin memarkirkan dulu bus nya ke posisi aman agar tidak mengganggu lalu lintas. Adu mulut pun terjadi antara mereka. Supir bus dapat kembali untuk memarkirkan bus ke posisi yang aman. Setelah itu.. Kembali mereka beradu mulut.
Karena kesal menunggu lama tanpa ada kejelasan. Para penumpang yang kebanyakan ibu-ibu yang akan kerja itu mulai resah dan berteriak menyalahkan pengendara motor. Bahkan ada ibu yang berani turun sembari berteriak marah kepada pengendara motor itu. Tidak tahu bagaimana akhirnya, yang jelas bus kembali jalan tanpa tahu lebih jelas penyelesainnya.
***
Astagfirullah, Masya Allah, Allahu Akbar.
Komat kamit saya lapadzkan dzikir kepada Allah melihat semua kejadian barusan. Saya memang sedang berada di dalam bus itu saat akan berangkat kerja pagi itu. Kejadian itu sungguh sangat mengangetkan dan sempat membuyarkan konsentrasi saat asyik membaca buku. Tidak habis fikir kenapa harus dengan marah-marah ya? Apa tidak sebaiknya diselesaikan dengan baik-baik dan kepala dingin. Kemana lagi ya sikap orang Indonesia yang katanya ramah dan murah senyum. Apakah karena tuntutan hidup ataukah memang kondisi daerah pinggiran kota yang menuntut seperti itu.
Sungguh sangat berbeda sekali dengan sikap Rasulullah. Beliau selalu balas dengan senyuman dan perbuatan baik kepada orang-orang kafir yang memarahi atau bahkan yang ingin mencelakakannya. Ya Allah kapan kita bisa mencotoh perilaku Beliau yang agung itu? Atau sikap para shahabat yang dengan jiwa lapang merelakan air minumnya diberikan kepada shahabat lainnya saat ajal hendak menjemput pada saat perang. Sungguh luhur sekali jiwa mereka hingga disaat sedang sangat membutuhkan pun mereka masih bisa memikirkan shahabatnya yang laen. Andai kita bisa seperti mereka.. duh robbi.
Teringat kembali bagaimana bunyi butir-butir pancasila saat-saat belajar PMP (Pendidikan Moral Pancasila) di bangku SD 15 tahun yang lalu. Alangkah rindunya dengan kondisi bangsa dan negara yang adem, tentram serta sejahtera. Masihkah ada budaya saling mengalah dan mendahulukan kepentingan orang lain itu?
Pernah membaca sebuah artikel, bagaimana kondisi lalu lintas di negara tetangga Malaysia. Sungguh sangat berbeda katanya. Disana semua orang sangat patuh dengan peraturan lalu lintas. Tidak ada salip menyalip, semua orang sadar dengan aturan sehingga akan budaya saling mengalah dan mendahulukan orang lain sangat terasa. Sampai-sampai kalau ada yang akan berbelok ke kanan akan menunggu mobil dari seberangnya habis dan selesai melewatinya. Bagaimana mereka bisa sampai seperti itu ya? Yang jelas katanya karena penegak hukum (Polisi atau dalam bahasa Malaysia Polis) benar-benar konsisten menjalankan aturannya.
Kira-kira kapan ya Indonesia bisa seperti itu? Ternyata memang masih banyak pekerjaan rumah (PR) yang masih harus kita kerjakan.

Wednesday, June 21, 2006

Akan Kemanakah Mereka Melangkah..

“Hore.. akhirnya aku lulus….”
Teriakan dan jeritan tanda sebuah kemenangan terdengar di area sekolah tingkat atas. Reni dan kawan-kawan sesama kelas tiga merayakan sebuah kemenangan sebagai tanda kelulusan dan akhir dari masa belajar di sekolah itu. Seakan terasa seperti mendapatkan anugrah yang paling berharga, mengingat sulit dan tingginya standard kelulusan yang ditetapkan.
Tak urung sebuah tradisi merayakan kelulusan kembali digelar. Tanpa perduli dengan nasihat orang tua dan guru maupun cibiran masyarakat sekitar, mereka kembali berkumpul berteriak-teriak kegirangan. Tak lupa cat warna-warni menghiasi baju dan celana yang dikenakan. Tak ayal, rambut, wajah serta tangan pun terkena imbas dari aksi coret-mencoret itu. Tak cukup dengan itu, tembok di pinggir jalan dengan tanpa ampun harus menerima luapan emosi mereka dengan kembali tercoreng tulisan-tulisan tidak jelas.
Belum puas dengan hal itu, Reni dan kawan-kawan yang kebanyakan cowok itu akhirnya turun ke jalan dengan kendaraan roda dua mereka. Ajang kebut-kebutan dan salip-menyalip diantara mereka seakan melengkapi kebahagian mereka. Tak perduli lagi dengan cemoohan dan umpatan sopir serta pengguna jalan lainnya sebagai ucapan tanda kekesalan. "Mereka pikir jalanan ini punya Bapak mereka apa?", ungkap para sopir kesal.

***

Mak, kata pak Guru aku lulus sekolah. Tadi pagi pengumumannya sudah diberikan.” Teriak Ahmad kepada emaknya.
“Alhamdulillah nduk, akhirnya kamu lulus sekolah” ungkapan syukur dari seorang Ibu yang sudah berumur.
Ucapan itu yang didapatkan Ahmad dari emaknya. Tidak ada pelukan mesra ataupun bingkisan hadiah, apalagi selamatan seperti halnya yang dilakukan teman-temannya. Tidak terpikir bagaimana kelanjutan studinya. Meskipun tadi Ahmad mendapatkan kabar dari gurunya bahwa dirinya telah diterima di salah satu perguruan tinggi negeri di Bogor lewat jalur PMDK, namun hal itu tidak menjadikan dirinya senang ataupun bahagia. Yang terbayang adalah sebuah kebingungan. Jikalau peluang PMDK itu diambil, darimana ia dapatkan biayanya.
Yang terbayang dalam benaknya adalah bagaimana bisa bekerja membantu emaknya agar bisa mendapatkan uang untuk biaya sekolah adiknya yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
Ahmad kembali teringat bagaimana sulitnya bertahan dan melanjutkan studinya di SMA sekarang ini. Kalau bukan karena kebaikan Guru dan Kepala sekolahnya, mungkin Ahmad sudah berhenti dan tidak melanjutkan lagi sekolahnya. Dikarenakan Ahmad selalu dapat rangking pertama di kelasnya, akhirnya di diberikan fasilitas bebas biaya spp dan beasiswa demi mendukung belajarnya.
Tidak ada keberanian pada diri Ahmad untuk mengungkapkan berita diterimanya dia di PTN lewat PMDK kepada emaknya. Biarlah, mungkin itu bukan rezekinya. Kalau sekiranya Allah mentakdirkan dirinya kuliah, pastilah nanti ada jalan keluarnya, gumannya menenangkan gejolak hatinya.

***
“Kamu pokoknya harus ikut bimbingan belajar di Jakarta, Papa dan Mamah sudah siapkan semuanya. Kamu tinggal dengan Om dan tante disana. Kamu harus rajin belajar biar bisa lulus ujian masuk PTN.”
Dengan terpaksa Dani menganggukan kepala tanda setuju atas perintah orang tuanya. Dia tahu betapa sulitnya masuk ke PTN idamannya. Beberapa waktu yang lalu memang pernah dia coba untuk ikutan PMDK, namun ternyata tidak lulus.
Seakan merasa terbebani dengan kehendak orang tua, terpaksa Dani kembali berkutat dengan buku pelajarannya demi sebuah cita-cita yang mulia. Ingin rasanya untuk sedikit bernafas dan menghibur diri setelah sekian lama berjibaku menghadapi tes akhir sekolah yang terus menerus. Namun keaadaan berkata lain. Dia harus berjuang kembali dengan sedikit melupakan kesenangan dan waktu istirahatnya, meskipun hati kecilnya selalu menginginkannya.
Dia memang harus bersyukur, dia masih diberikan kesempatan oleh orang tuanya untuk ikut bimbel dengan harga mahal. Bagaimana dengan teman-teman lainnya. Kadang untuk bayar SPP pun mereka sering sekali menunggak. Duh..

***

Begitulah sedikit gambaran kondisi para remaja lulusan Sekolah Menengah Atas saat selesai menghadapi kelulusan. Ada sebuah perasaan senang dan gembira, namun juga ada perasaan cemas dan bimbang. Perasaan senang karena telah lulus dan menamatkan sekolah, namun setelah itu ada pertanyaan lain yang harus dijawab. Setelah ini saya mau kemana ya?
Rata-rata yang sempat ditanya selalu menjawab dengan bingung, sampai-sampai ada yagn bilang bagaimana nanti saja akh. Padahal yang baik adalah nanti bagaimana? Setidaknya ini pulalah yang melanda beberapa siswa Sekolah Menengah Atas di pelosok kabupaten Bogor. Ketika ditanya rata-rata mereka menjawab kalau tidak kuliah ya mungkin akan bekerja atau mungkin nganggur di rumah.

Sebenarnya secara umum ada tiga gambaran yang mungkin untuk menjawab itu.
  1. Kuliah atau melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Kuliah atau melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi merupakan cita-cita sebagian atau mungkin semua siswa SMA. Mereka berfikir jikalau kuliah rasanya senang. Mereka merasa lebih dewasa, lebih memiliki existensi dan juga lebih bergengsi. Namanya juga Mahasiswa, ya nggak?Dalam melanjutkan studi atau kuliah sebaiknya ditentukan jurusan yang diambil, tempat kuliah dll. Jurusan memegang peranan penting dalam menentukan keberhasilan seseorang dalam kuliah. Jikalau tidak meminati jurusan yang ada, biasanya kuliahnya juga akan sedikit terpaksa dan tidak bisa menikmati. Sedangkan tempat kuliah adalah menjadi prioritas selanjutnya. Meskipun rata-rata Perguruan Tinggi Negeri menjadi tujuan utama, namun perlu juga difikirkan dengan cita-cita dan minat. Jangan-jangan karena ego atau desakan orang tua, dengan terpaksa diambil jurusan tertentu di PTN. Akhirnya yang ada adalah keterpaksaan dan proses belajar yang kurang mendalam. Yang paling baik adalah dengan menentukan cita-cita. Misalnya cita-cita menjadi Dokter Specialis Jantung, tentunya akan mencari tempat kuliah yang cocok seperti di UI, UNPAD, UGM dll. Tidak mungkin mengambil di ITB atau IPB.
  2. Bekerja atau wirausaha untuk menghasilkan uang. Alasan lainnya adalah segera bekerja atau wirausaha agar menghasilkan uang. Jalan ini juga sebenarnya adalah baik. Namun perlu dicatat jikalau memang ingin bekerja, tentunya harus ada persiapan dahulu. Cobalah cari tempat bekerja yang cocok. Jangan hanya karena sudah dapat posisi baik, langsung diambil tapi ternyata tidak cocok. Sebagai gambaran, biasanya lulusan SMA lebih sering menduduki posisi level bawah. Konsekuensi inilah yang harus diterima. Apalagi SMA, karena sifatnya umum, jadinya harus sedikit selektif.Untuk yang ingin wira usaha, harus ditentukan terlebih dahulu bidang apa yang akan digeluti. Syukur-syukur kalau memang sudah ada peluang dengan meneruskan usaha orang tua misalnya. Namun kalau tidak ada, pastinya agak sedikit sulit kecuali ada partner yang mau diajak kerja sama. Yang jelas jangan jadi pengamen or pengemis ya..
  3. Alasan lainnya (menganggur, dll). Ada sebuah alasan lainnya selain kedua hal tersebut diatas. Ada yang mungkin menjawab tidak tahu harus bagaimana menyikapi kegiatan setelah lulus dikarenakan tidak mempunyai tujuan yang jelas. Merekalah yang biasanya terlalu pasrah dengan nasib dan keaadaan. Tidak ada sedikit pun sebuah keinginan untuk maju ataupun berubah demi sebuah kebaikan. Mereka hanya akan menjawab menjadi Pengacara (Pengangguran banyak acara.. red). Tidak baik menjadi seorang pengangguran, karena selain menghabiskan waktu dan kesempatan, biasanya yang ada adalah menjadi beban bagi orang tua ataupun yang lainnya. Sebaiknya isilah waktu-waktu kosong dengan kegiatan yang bermanfaat. Bagi mereka yang memiliki orang tua ataupun saudaranya yang bekerja wira usaha, mungkin bisa ikut membantu sekalian belajar berusaha. Tetapi jika tidak mungkin, cobalah isi dengan kegiatan bermanfaat seperti aktif di masyarakat ataupun remaja masjid, membaca, diskusi dengan teman dll. Dengan keaktifan tersebut diharapkan tidak ada istilah waktu terbuang percuma disamping juga akan melatih kemampuan laiinya selain belajar di sekolah seperti organisasi ataupun kemasyarakatan.
    Jikalau waktu dan pikiran tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya, biasanya yang terjadi adalah sebuah kemalasan yang berakibat pada tidak berdayanya kemampuan yang sebelumnya pernah didapatkan. Seorang manusia pada hakikatnya akan semakin pintar dan maju jikalau kemapuan dan pemahamannya selalu dilatih dan diasah dengan sebuah masalah ataupun tantangan.

So.. Hari ini tidak ada lagi sebuah kebingungan ketika ditanya setelah lulus mau kemana dan mau melakukan apa. Sebuah jawaban mantap dan penuh kepastian serta harapan akan terucap, “Saya akan … (melanjutkan sekolah, kerja atau…).” Tidak akan ada lagi jawaban, “Saya tidak tahu, gimana nanti saja dech.”. Seorang remaja sebagai tulang punggung generasi mendatang tentunya harus memiliki visi dan misi yang jelas tentang kehidupannya. Sehingga tidak akan ada lagi seorang remaja yang kebingungan kemanakah dia akan melangkah.


Tuesday, June 13, 2006

Teringat Kembali Saat-saat itu

Teringat kembali saat-saat kecil ketika akan masuk sekolah dasar. Tangisan pilu dan memekakan telinga seakan meminta sebuah perlindungan kepada ibu yang dengan teganya meninggalkanku di tengah keramaian orang-orang yang tidak aku kenal. Sapa mesra dan dekapan ibu saat itu adalah obat yang mujarab pereda tangisan manja.
Namun setelah itu, seakan terlupakan apa yang telah terjadi. Ocehan dan obrolan serius menghiasi ruangan kelas saat ibu guru memulai sebuah pelajaran membaca dan menulis.
“ini ibu budi” kata bu Guru dengan lantangnya menunjukan sebuah tulisan di papan tulis yang kemudian diikuti oleh murid-muridnya.
Gelak tawa dan keramaian kelas kembali lagi terdengar saat lonceng tanda pelajaran selesai. Pegangan erat tangan 3 orang anak kecil itu seakan menandakan sebuah persahabatan baru yang telah terbentuk. “Maen ke rumahku yuk!” ajak seorang anak dan langsung disambut dengan anggukan kepala tanda setuju dan senang.

Teringat kembali saat-saat memulai sebuah tingkatan belajar yang lebih tinggi. Capek, lelah dan letih seakan menghiasi saat-saat Penataran P4 dan Pengenalan Sekolah. Ocehan dan teriakan memekakan telinga kembali terdengar saat seorang orator meneriakan sebuah perintah untuk segera berbaris. Diiringi dengan sebuah ketegangan, emosi dan kelelahan yang sangat semua peserta dengan sigap berlari ke lapangan upacara. Tidak cukup dengan suara memekik, hukuman dan sangsi senantiasa diberikan kepada yang tidak mematuhi perintah. Meski tidak mengerti, diri ini pun terkena sebuah hukuman atas ketelodoran saat tidak memperhatikan perintah akibat lelah dan capek yang amat sangat.
“Duh robbi kapan ujian ini berakhir” keluhku saat itu. Namun sepertinya itu tidak berakhir hingga bel tanda akhir pelajaran dan Ospek hari itu berbunyi seakan memberikan angin segar di saat cuaca benar-benar panas menyengat.

Teringat kembali saat-saat ketika tanda kelulusan disandang sebagai sebuah bukti akan kemampuan diri menyelesaikan semua ujian yang diberikan. Julukan seorang pelajar yang senatiasa lekat dalam diri seakan-akan dengan mudahnya pudar dan menghilang tergantikan sebuah sebutan yang cukup bergengsi “mahasiswa”.
Duh apakah mampu diriku ini menjadi seorang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi yang diinginkan? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu muncul dan selalu menjadi boomerang untuk segera dijawab dengan sebuah bukti nyata diterimanya diri ini di tempat belajar yang dicita-citakan.
“Ya Allah, izinkan hambamu ini untuk dapat diterima di Perguruan Tinggi Negeri yang ada.” Sebuah pengharapan yang begitu kuat dan tertuju hanya kepada Nya. Memang hanya Dia yang mampu menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang ada.

Teringat kembali saat-saat menyusuri jalan-jalan dan gang-gang kecil di malam hari ketika harus mencari sebuah tanda perkenalan dengan kakak senior. Sebuah ketakutan dan ketegangan selalu menyertai seakan-akan hidup penuh ancaman dan hukuman. Suasana Ospek mahasiswa baru di sebuah kampus hijau. Di kala diri ini belum seutuhnya mengenal apa itu Kampus, Kuliah, dosen ataupun bahasa-bahasa lainnya dalam kamus Perguruan Tinggi, ternyata harus dihadapkan kepada sebuah kondisi yang sulit dalam suasana penuh ketegangan Masa Orientasi.
Allahu rabbi hamba merasakan sulitnya hidup jikalau engkau tidak ada dalam hati ini. Hanya Engkau yang selalu bersemayam sebagai tumpuan harapan dan do’a.

Teringat kembali saat-saat ujian seminar dan sidang sebagai gerbang awal menuju sebuah pencapaian gelar sarjana. Suasana tegang, lelah, letih dan capek dikarenakan kurang istirahat akibat mengejar target dan tugas yang harus selesai tepat waktunya jika ingin segera menyelesaikan kuliah. Detik demi detik terasa begitu lama. Jantung serasa berhenti berdetak sesaat sebelum dipanggil ke sebuah arena perjuangan yang penuh dengan romantika dan godaan demi mempertahankan sebuah ide dan pendapat dalam “skripsi”.
Tak terasa 3 jam sudah aku berada di dalam ruangan itu. Meskipun ruangan itu ber AC, ternyata tidak mampu mendinginkan suasana hati dan pikiran. Menunggu ternyata merupakan hal yang sangat-sangat tidak disukai, terutama menunggu hasil dari ujian sidang sebagai penentuan sebuah kemenangan dalam medah perjuangan mahasiswa.
Allah kuatkan hamba dalam menerima semua keputusan Mu. Hamba yakin semuanya adalah yang terbaik menurut Mu.

Teringat kembali saat-saat pertama memakai dasi dan kemeja panjang dihadapan seorang professional ketika sebuah prosesi interview mengawali sebuah perjalanan karir diriku. Ketegangan dan kebingungan kembali mendera seakan-akan dunia ini serasa sempit. Pertanyaan-pertanyaan itu rasanya sulit sekali untuk dijawab, apalagi ketika terpaksa harus dijawab dengan bahasa yang cukup memukau semua komunitas dunia, Bahasa Inggris.
Meskipun terkadang idealisme terkalahkan dengan sebuah kondisi, namun seorang manusia tetaplah hamba yang selalu berharap daripada Rabbnya. Ya Allah kalau tempat ini baik sebagai tempat hamba berkiprah dan bekerja, mohon izinkanlah hamba untuk masuk ke dalamnya.

Teringat kembali saat-saat harus berhadapan dengan para kolega dan partner kerja. Apalagi ketika harus berhadapan dengan sebuah sikap tegas dan pasti akan sebuah solusi permasalahan yang timbul ketika sebuah hasil tidak sesuai dengan yang diharapkan. Tekanan hidup seakan menjadi sebuah resiko pekerjaan yang kerap mendera setiap langkah dan karya yang ada. Diri ini rasanya tidak sanggup lama bertahan dengan kondisi seperti ini. Sebuah kondisi yang sepertinya tidak kondusif buat berkarya dan berkreasi. Selalu saja ada sebuah kata penolakan meskipun halus dengan tidak digubrisnya ide-ide diri ini.
Apakah salah diri ini ketika ingin berusaha memperbaiki yang ada? Duh Rabbi, sesungguhnya hanya Engkau yang maha mengetahui apa yang telah hamba lakukan.

Teringat kembali saat-saat sebuah kekecewaan kembali mendera dan menghampiri diri seriring dengan berlalunya orang-orang yang senantiasa memberikan support dan motivasi dalam bekerja. Betapa tidak merekalah orang-orang besar yang telah berhasil menorehkan kesan baik ataupun buruk secara mendalam. Hanya merekalah yang mengetahui sebuah prestasi ataupun sebuah perjuangan hidup yang telah digoreskan dalam sebuah penilaian. Namun sayang, semuanya berlalu seiring dengan berlalunya keberadaan mereka yang tergantikan dengan yang lain. Ingin rasanya hati ini melakukan sebuah pembelaan disaat lembaran itu terkesan tidak objective dan professional. Namun apalah arti sebuah rintihan jikalau tidak bisa membuktikan lewat sebuah bukti nyata.
Rabb. Apakah salah diri ini meminta sebuah hak dan penghargaan atas apa-apa yang telah kami perbuat dengan kesungguhan diri, keikhlasan hati serta semangat tinggi.

Teringat kembali saat-saat tergadaikannya sebuah harapan maju. Sebuah teguran seakan menjadi sebuah tanda kelemahan diri. Dan ternyata sebuah kata-kata berat dan berarti tidaklah menjadikan sebuah pelerai atas sebuah permohonan maaf. Memang benar, di saat diri ini lemah dan sulit, akan sangat mudah dan rentan untuk selalu terpojok meski hanya karena sebuah tindakan kesalahan kecil yang tidak disengaja. Apakah ini sebuah pertanda akan berakhirnya sebuah pengorbanan dan perjuangan?
Rabb, Jangan timpakan ujian yang tidak sanggup hamba pikul dan terima. Sungguh berat hati ini untuk senantiasa dingin dan ikhlas menerima cobaan ini.

Teringat kembali saat-saat tetesan air mata berderai sebagai sebuah tanda pengampunan dan perharapan kepada Mu ya Allah pada sujud-sujud panjang di sepertiga malam terakhir. Ingin rasanya hamba ini merasakan indahnya selalu bersama dengan Mu. Namun ternyata diri ini sepertinya tidak adil. Di saat-saat diri ini senang dan bahagia, Engkau terkadang dilupakan. Namun disaat diri ini dipenuhi dengan ujian berat, ternyata hanya Engkaulah tempat hamba mencurakan semua kesalahan dan kedhoifan diri. Ya Allah tolong ampuni hambamu yang lemah ini.

Monday, June 12, 2006

Perubahan yang Berarti

"Mam, kamu berubah loh. Biasanya kamu sering rame, sering bercanda dan juga aktif. Kok sekarang jadi pendiam, bicara secukupnya dan jadi sering ke mesjid. Ada apa sih?" Seorang teman menilai diriku saat selesai ujian semester.

Berubah? Sebuah pertanyaan itu kembali memusingkan pikiranku. Ada apa dengan diriku ini ya? Selama ini perasaan tidak ada yang berbeda. Aku kembali mengingat-ingat kenapa temanku bisa bersikap seperti itu.

***

Siang itu selepas Shalat Jum'at aku diajak seorang teman untuk ikut sebuah kajian di masjid kampus. Dikarenakan kuliah baru ada lagi jam 15.00, akhirnya aku iyakan saja, itung-itung nunggu waktu kuliah ah. Daripada pulang ke tempat kos yang lumayan jauh, mendingan juga nunggu di masjid kampus, adem lagi.

Sebuah kajian keislaman yang mengambil tema tentang Dunia Islam sepertinya biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa menurutku, toh semenjak SMA juga aku sering baca buku dan majalah Islam. Namun di akhir acara ada sebuah pengelompokan dan juga diskusi membahas masalah tadi. Wah seru juga fikirku. Mulailah sebuah diskusi kelompok itu dengan dipandu oleh seorang moderator. Moderator ini belakangan aku ketahui ternyata adalah kakak kelasku berbeda 2 tingkat. Wah seneng juga ya bisa kenalan, kan kalau ada masalah bisa minta tolong dia (maksudnya masalah kuliah gitu).

Seorang temanku kembali kemukakan argumennya. Dia tetap bersikukuh bahwa kita tidak harus memikirkan nasib bangsa laen seperti Palestina dll, toh di Indonesia juga masih banyak yang belum baik. So mendingan kita fikirkan aja tuh bagaimana caranya berantas korupsi dan juga pornografi.


Argumen-argumen serta pendapat-pendapat semuanya dijawab oleh kakak kelasku ini dengan tenang dan bijaksana. Tidak ada sebuah kata-kata yang emosional saat itu, beliau hanya menyunggingkan sebuah senyuman kala salah satu peserta begitu emosionalnya berpendapat.
Akhirnya karena waktunya sudah mepet dan aku juga harus segera masuk, diskusi sementara waktu ditunda dan kita berjanji untuk kembali melanjutkannya di tempat yang sama minggu depan.

Diskusi demi diskusi kembali diadakan. Materi yang dibahas semakin seru dan menantang. Kami semua merasa semangat sekali untuk terus mencari informasi yang ada. Hingga suatu hari saat pertemuan berlangsung, kakak kelasku ini berinisiatif untuk mengadakan kajian materi keislaman saja. Kita sih oke-oke saja tuch, apalagi kan bisa ketemu teman-teman.
Materi-materi keislaman mulai disampaikan, kita jadi semakin mengerti apa itu Islam, pertanyaan demi pertanyaan selalu dijawabnya dengan penuh bijaksana. Teman-teman semakin merasakan ternyata Islam itu begitu indahnya mengatur semua kehidupan.

Tanpa terasa sudah 3 bulan kajian itu berlangsung. Ada sebuah tekad yang timbul saat itu untuk memulai sebuah perubahan yang berarti. Sebuah perubahan pola hidup dan jati diri. Kami memulai dengan hal-hal kecil. Saat ketemu ucapan salam serta jabat tangan erat selalu menghiasinya. Ucapan do'a selalu terlontar dari mulut ini saat melihat fenomena-fenomena yang ada.
Betapa indahnya hidup saat itu. Setiap hari sebuah ucapan salam, jabatan tangan erat, ucapan do'a serta sebuah senyuman senantiasa hadir dalam setiap langkah dan kehidupan.

Sebuah ikatan persaudaraan sebagai sesama seorang muslim kian terbangun setelah sekian lama bertemu, bekerja sama dan juga setelah saling memahami. Seorang teman pasti akan selalu menanyakan kabar ataupun masalahnya kepada saudaranya yang lain. Serasa seperti sebuah keluarga sendiri, semuanya terasa begitu indah. Seperti halnya sahabat anshar yang dengan penuh keikhlasan merelakan sebagian hartanya untuk saudaranya sahabat muhajirin.

***

Selamat jalan sahabatku, semoga kau temukan sebuah kedamaian dalam sebuah perjuangan. Semoga kita bisa dipertemukan kembali dalam sebuah kebaikan dan juga di dalam jannah Nya. Mari saling medo'akan semoga kita bisa menjaga diri dan agama ini.
Jabatan mesra serta pelukan yang kuat dengan linangan air mata dan hati yang sedikit terharu mengiringi sebuah kepergian para mujahid-mujahid islam saat telah menyelesaikan studi di kampus hijau itu. Sebuah dekapan mesra seakan mengingatkan kembali bagaimana kuatnya sebuah ikatan ukhuwah dalam menghadapi berbagai macam cobaan, deraan, cemoohan hingga mungkin sebuah pengucilan.

Sebuah komunitas baru terbentuk sudah di sebuah kampus itu. Komunitas dimana berkumpul orang-orang yang penuh dengan semangat perjuangan demi mencapai sebuah kemenangan Islam. Sebuah komunitas yang senantiasa menjadikan Allah sebagai tujuan utama, Al Qur'an sebagai pedoman hidup, Rasulullah sebagai tauladan serta Muslimin dan Muslimat sebagai teman hidup. Memang aneh dan unik dengan komunitas ini. Di tengah hingar bingar dan gegap gempita kehidupan perkotaan yang penuh dengan kesenangan dan hedonis, mereka malah menyibukan diri di dalam gedung yang tidak kalah megahnya yaitu Masjid. Merekalah komunitas yang senantiasa cinta dengan masjid.


This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]