Wednesday, August 23, 2006

Kampung Halaman Kedua

…...
disana tempat lahir beta
dibuai dibesarkan bunda
tempat berlindung di hari tua
sampai akhir menutup mata
…...

Lantunan lagu yang sering didendangkan oleh sebagian anak SD kembali mengingatkanku akan sebuah kampung tempat aku dilahirkan dan merenda sedikit masa depan. Sebuah tempat saat-saat pertama kalinya menapaki dan menjalani sebuah kehidupan. Tempat dimana disana terukir dan tersimpan kenangan dan harapan tentang sebuah hakikat diri. Tempat pertama berpijak dan melangkah maju. Ya.. itulah tempat kelahiran yang sekaligus menjadi kampung halaman tempat kembali.

Tanpa terasa sudah sekian lama aku merantau di sebuah kota pinggiran Jakarta. Masih teringat akan sebuah asa yang terpatri jauh di dalam jiwa untuk menjadi orang yang berguna bagi agama, bangsa dan agama. Langkah itu masih saja terasa terutama saat-saat melepaskan diri meninggalkan kota kelahiran menuju kota tempat aku menempa diri dengan keilmuan.

Kerinduan akan kampung halaman setidaknya telah terobati sudah. Kemarin saya sempatkan untuk pulang dengan istri ke rumah orang tua di Ciamis. Libur panjang diantara tanggal-tanggal merah merupakan anugerah tersendiri bagi kami yang memang setiap harinya sering disibukan dengan rutinitas pekerjaan yang tidak pernah ada habisnya. Kecintaan akan kota itu memang tidak akan ada habisnya, meskipun saya sadari beberapa bulan yang lalu masih saya sempatkan untuk pulang.

Mandi di dinginnya pagi di sebuah pancuran air, jalan-jalan di tengah pematang sawah yang telah tiba saat-saat dipanen, minum air teh hangat dengan goreng singkong, makan lalapan yang langsung dipetik dari pohon serta memakan ikan bakar yang baru saja dipancing dari kolam. Ah.. indahnya.. Alhamdulillah ya Allah masih saja Engkau anugerahkan kenikmatan itu bagi Kami.

Di tengah kesibukan dan kepenatan penduduk yang bekerja, masih saja sempat menyapa saya dan istri yang kebetulan lewat saat jalan-jalan di pematang. Selalu saja wajah sumringah dan gembira yang kami dapatkan meski peluh mereka bercucuran. Bahkan ada juga yang sempat menawarkan makanan dan minuman bagi kami. Begitulah mereka penduduk kampung yang kaya dengan sopan santun dan kerendahan hati.. Andai di kota seperti itu juga..

Sebuah lantunan adzan magrib oleh seorang anak kecil seakan menjadi sebuah pengingat akan tibanya waktu malam. Berbeda sekali kondisinya, saat-saat malam menjelang akan disambut dengan gemuruh lantunan suara anak-anak yang belajar mengaji. Hafalan-hafalan Al Quran semakin menambah suasana menjadi syahdu serta shalawat nabi sebagai bukti sebuah kecintaan. Ternyata masih ada harapan buat mereka generasi penerus kami demi membangun desa ini menjadi lebih baik lagi.

Ada sebuah penyesalan dan rasa bersalah saat ingat masa-masa awal meninggalkan kampung ini. Masih saya ingat nasihat berarti seorang guru ngaji tentang kehidupan. Masih teringat akan sebuah harapan maju darinya, sehingga kelak suatu saat nanti saya harus kembali untuk membangun kampung ini. Tanpa saya sadari ternyata ada banyak pemuda-pemuda seperti saya yang juga merantau ke kota besar. Hingga akhirnya rutinitas pengajian dan kegiatan keislaman otomatis berhenti. Duh Robi ampuni ketidakmampuan hamba...

Setidaknya itulah sedikit kecintaan dan kerinduan yang senantiasa berpadu satu untuk kampung halaman tercintaku. Sebuah niatan untuk kembali kesana demi membangunnya menuju sebuah kemajuan selalu saja hadir namun dengan sendirinya hilang saat rutinitas kerja dimulai. Namun saya sadar ternyata Allah adalah penentu hidup manusia. Saya sadar dimanapun berada itu adalah di bumi Allah sehingga tidak ada perjuangan yang setengah-setengah. Dimanapun kita, itulah kampung tempat tinggal kita, tempat pengabdian dan tempat berkarya serta yang penting tempat ibadah sehingga kampung halaman kedua dengan sendirinya akan terbentuk.

Wednesday, August 16, 2006

Terima Kasih Abi, Ummi…

Malam itu saya terima sebuah SMS dari abi –guru ngaji yang sudah kami anggap sebagai orang tua kami- yang mengabarkan sebuah berita duka. Anaknya yang ketiga sedang dirawat di Rumah Sakit di Daerah Bogor karena Infeksi Ginjal. Beliau meminta do’a agar Allah berikan kesembuhan. Do’a tulus mendo’akan kesehatan anaknya terpanjat dengan khusunya. SMS yang sama pun saya dapatkan dari teman-teman ngaji, bahkan ada teman yang sedang berada di Rumah Sakit untuk menemani dan menjaganya malam itu.
Sepertinya berat sekali menerima cobaan itu terutama buat ummi -istri beliau- karena harus berjuang tanpa kehadiran suaminya karena sedang berada di pulau seberang. Yah, beberapa waktu yang lalu beliau pernah bilang akan pergi ke Kalimantan dalam rangka audit BPK selama 1 bulan penuh. Apalagi setahu saya istri beliau pun sedang mengandung anaknya yang keenam.

Namun sepertinya semua cobaan itu tidak mengurangi ketegaran dan kesabaran istri beliau. Malam berikutnya kebetulan saya dan seorang teman ngaji mendapat giliran untuk menjaga dan menemaninya di RS. Ummi atau panggilan kami kepada istri beliau ini sepertinya terlihat tegar dan sabar tanpa terlihat sedih. Hanya sedikit lelah terlihat di raut wajahnya. Di saat-saat menunggu itu ummi bahkan menanyakan kondisi istri saya yang kemarin habis keguguran. Beliau malah menyarankan untuk istirahat dan jaga kondisi kesehatan biar segera dapat penggantinya. Bahkan ummi malah melarang istri dibonceng di motor mengingat kondisinya yang masih lemah. Subhanallah.

Masih teringat juga beberapa bulan yang lampau. Sebuah berita duka mendadak kami dapatkan. Putra Abi yang kelima meninggal dunia. Padahal waktu itu abi sedang dalam perjalanan pulang dari Magetan setelah menghadiri resepsi pernikahan salah seorang teman kami. Apa yang terjadi saat abi mendengar kabar itu? Teman yang kebetulan bareng dengan beliau bercerita, Abi yang saat itu sedang menyetir tidak menampakan muka sedih ataupun shock, yang ada hanyalah ucapan ta’ziyah dan istigfar. Hingga yang lain merasa bingung. Kok bisa ya? Posisi sopir pun akhirnya digantikan oleh teman saya khawatir abi tidak tenang, meski sebelumnya abi tetap berkilah untuk tetap menyetir. Yang terjadi selanjutnya malah terlontar sebuah nasihat berharga dari mulut beliau. Nasihat tentang esensi atau hakikat seorang anak sebagai titipan Allah. Jadi kapanpun Allah mau, maka kita harus merelakannya karena memang adalah titipan Nya. Sejuk rasanya mendengar hal itu sekaligus kagum dengan sikap beliau yang tenang.

Malu rasanya saya yang baru kehilangan calon bayi namun selalu bersedih dan menyesal. Malu rasanya saya ketikatidak bersabar dan bertawakal kepada Allah. Sepertinya sudah waktunya saya untuk menata diri dan bangkit lagi sambil tetap memohon kebaikan kepada Allah, karena saya yakin semua yang terjadi adalah atas kehendak Nya. Terima kasih Abi dan Ummi atas tauladan dan nasihatnya. Mohon do'anya agar saya bisa meneladani sikap dan perilaku abi dan ummi.

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]