Wednesday, May 31, 2006
Akhir Penantian dari Sebuah Pencarian
Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (Qs. Ar. Ruum (30) : 21). Wanita yang baik adalah untuk lelaki yang baik. Lelaki yang baik untuk wanita yang baik pula (begitu pula sebaliknya). Bagi mereka ampunan dan reski yang melimpah (yaitu : Surga) (Qs. An Nuur (24) : 26). Rasulullah SAW bersabda: "Nikah itu sunnahku, barangsiapa yang tidak suka, bukan golonganku !"(HR. Ibnu Majah, dari Aisyah r.a.).
***
“Akhwat itu hanya minta waktu 2 minggu untuk pertimbangkan proses ini. Tenang aja, antum perbanyak do’a dan perdekat diri kepada Allah.”
Jawaban dari abi akhirnya saya dapatkan untuk menjawab kebingungan yang ada setelah menerima pesan singkat di HP dari guru ngaji akhwat yang akan diproses.
Beberapa waktu yang lalu saya dapat konfirmasi akan dilakukan pertemuan awal dengan akhwatnya sebagai tindak lanjut dari proses ini, namun ternyata tidak jadi karena alasan yang tidak saya fahami.
Apakah ini juga cobaan dari Allah. Saat diri ini bersemangat untuk kembali melangkah dengan semua dukungan yang ada. Sepertinya semuanya sudah di depan mata. Namun Allah ingin menguji kemantapan hati ini. Ya Allah mudahkanlah jalan ini. Amien.
***
“Barakallahu laka wabaraka ‘alaika wajam’a bainuhuma fi khair”
Ucapan do’a dan selamat dari teman-teman seperjuangan seakan menambah dan melengkapi kebahagiaan yang saat ini tengah dirasakan. Beberapa menit yang lalu telah terjadi sebuah perjanjian suci “mitsaqon ghalizo” antara bapak mertua dengan saya dihadapan penghulu dan para saksi serta hadirin yang menyaksikan prosesi akad nikah di sebuah mesjid jauh di pelosok kota Cianjur.
Alhamdulillah sebuah prosesi pernikahan akhirnya bisa terlaksana. Pernikahan saya dengan akhwat yang pernah diajukan oleh sepupu yang baru saya lihat saat ta’aruf, dan saya kenal setelah menikah. Sungguh indah sekali saat mengingat semua perjuangan dan do’a demi sebuah ibadah yang utama.
Ya Allah berkahilah keluarga ini sehingga menjadi keluarga yang senantiasa menjadikan Allah sebagai tujuan akhir, Al Qur’an sebagai panduan, Rasulullah sebagai tauladan, Islam sebagai dasar hidup dan Da’wah menjadi jalan hidup. Amien.
***
“Ass. Mohon do’a dan kehadirannya, Walimatul Ursy … Ahad, …. di Tasikmalaya. Jzklh”
Deg.. sebuah pesan singkat dari HP Nokia 6610ku baru saja dibaca. Seorang pengirim yang sudah lama tidak bersua dan berkomunikasi mengirimkan sebuah kabar gembira.
Masih teringat 6 bulan yang lalu saat saya sempatkan bertemu beliau di daerah kaki gunung Galunggung. Kita saat itu sempat bertegur sapa serta mencurahkan isi hati terutama masalah yang satu ini. Ternyata kita memang sudah saatnya untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Pertemuan itu diakhiri dengan ucapan do’a agar masing-masing segera dipertemukan dengan jodohnya. Ah.. sungguh indah do’a itu. Ternyata Allah mentakdirkan beliau terlebih dahulu melangkah.
Sebuah ucapan syukur dan do’a untuk saudaraku langsung terlontar dengan sendirinya dari mulutku ini.
“Wass. Barakallah akhi ane do’akan semoga lancar dan semoga bisa membangun keluarga samara. Do’akan agar ane bisa segera menyusul. Afwan ane tdk bisa datang, ins.A laen waktu ane akan silaturahim. Jzklh”
***
“Ass. Akh, sabtu besok kita ada rapat walimah Akh.. di rumah Ust.. Antum dimhn u datang. Wass”
Pesan singkat itu sengaja saya kirimkan ke teman-teman mengabarkan pertemuan untuk membahas masalah walimahan salah satu teman yang sebentar lagi akan dilangsungkan. Kebetulan saya ditunjuk sebagai ketua untuk acara tersebut.
Malamnya rapat berlangsung, teman-teman semuanya hadir termasuk calon pengantennya. Rapat yang penuh kehangatan serta sedikit canda tawa tersebut membicarakan beberapa agenda yang harus dilakukan. Ada sebuah perasaan syukur dan do’a yang terlontar diantara rekan-rekan saat itu. Karena kebanyakan yang hadir saat itu adalah yang masih ”sendiri”, jadinya benar-benar ramai dengan canda serta tawa menggoda calon penganten.
Seorang teman yang kocak sampai berkata “ayo siapa yang akan nyusul harap ngisi absen dulu, maklum antriannya banyak nih.”
“Siapa sih yang nggak mau nikah?” sahutku dengan semangatnya hingga teman-teman menggodaku bahwa berikutnya adalah saya yang akan menyusul untuk menikah. Amien. Jawabanku saat itu.
***
“Mam, antum dapat salam dari mertua saya, beliau menanyakan kabar antum tuch. Terus katanya udah nikah apa belum?” seorang teman berkata saat bertemu di acara Dauroh Tarqiyah.
“Wa’alaikumsalam wr.wb.” Jawabku secukupnya.
Kira-kira 4 bulan saya tidak ketemu dengannya, tepatnya saat dia menikah dan saya menjadi panitia tepatnya menjadi MC pada saat acara walimahannya. Saya tertegun mengingat Bapak mertuanya itu. Bapak yang teduh dan penuh dengan kharisma. Tidak menyesal saya mengenal sosoknya. Saat itu memang hanya saya yang sering diajak ngobrol dengannya dibandingkan dengan teman-teman panitia lainnya. Sampai-sampai beliau sempat menanyakan segala macam tentang saya termasuk sudah menikah atau belum. Saya ingat betul bagaimana nasihat beliau kepada saya untuk segera menikah karena beliau melihat saya sudah matang dan wajib untuk segera menikah. Deg. Hati saya bergetar saat beliau berkata seperti itu. Akhirnya saya hanya bisa minta do’anya agar segera bisa melangkah ke gerbang pernikahan.
***
“Akh, antum bisa datang ke rumah ana malam ini? Jzklh”
Pesan singkat, dan benar-benar singkat itu ternyata memiliki arti yang cukup dalam di hati ini. Pesan itu dikirimkan oleh guru ngaji saya. Sempat menebak-nebak gerangan ada apa hingga saya disuruh untuk ke rumahnya. Hari itu saya sempat melamun di kantor, ada apa ya? Tidak biasanya beliau memanggil mendadak seperti ini. Seorang guru ngaji yang sosoknya sudah saya anggap sebagai seorang Bapak hingga saya dan teman-teman menyebutnya “ABI” sebutan bapak dalam bahasa arab.
Malam itu saya diajak ngobrol berbagai macam topik diantaranya tentang kerjaan, keluarga hingga akhirnya beliau menanyakan tentang kesiapan menikah. Deg. kembali hati ini bergetar. Teringat do’a yang selalu terucap di sujud panjang sepertiga malam terakhir, do’a dari teman serta yang lainnya. Teringat kembali kenangan-kenangan yang pernah dialami. Apakah ini adalah saatnya saya untuk segera menggenapkan setengah dien itu? Sebelum sempat menjawab, beliau kembali bercerita bagaimana proses pernikahan beliau dengan istrinya yang penuh kenangan serta hikmah yang banyak. Tertunduk saya saat itu, malu nian diri ini. Kebingungan mulai mendera, apakah saya jawab ya ataukah tidak. Dengan bijaksananya akhirnya beliau memberikan nasihat tentang da’wah, pernikahan serta jama’ah. Nasihat panjang hanya bisa saya dengarkan sambil sesekali menganggukan kepala tanda setuju.
Setelah sekian lama mengobrol, akhirnya tiba juga saat saya menjawab pertanyaan itu. Dengan hati yang masih bimbang dan bergetar akhirnya jawaban tanda setuju terlontar sudah. Abi mengganggukan kepala tanda senang dan bahagia.
Abi sempat memberikan pesan jangan lupa istikharah untuk meminta petunjuk dalam menentukan pilihan tersebut karena beliau tahu sudah berapa kali saya proses ternyata berakhir dengan sebuah kekecewaan.
Sungguh sebuah pertemuan yang membuat diri ini terasa berarti. Seorang guru sekaligus sudah menjadi abi bagi diri ini mampu memberikan dorongan kembali untuk selalu bertawakal kepada Allah dalam mencari pasangan hidup ini.
Teringat kembali beberapa kisah dalam episode hidup ini. Sebuah perjalanan tentang proses pencarian jati diri. Selain karena kelemahan diri dalam memutuskan dan mengambil resiko, namun ternyata keadaan serta tekanan dari sekitar pun tidak sanggup dihadapi, namun saya yakin tentunya ada campur tangan Allah didalamnya.
***
“De, ada temen kantor nich, orangnya baik, cantik, agamanya kuat dan … kayaknya cocok deh dengan ade” Panjang lebar sepupuku bercerita tentang sosok akhwat itu. Sebuah anggukan kepala saat mendengarkan cerita itu, mengingat selama ini mereka sering sekali menanyakan bagaimana proses pencarian calon pasangan setiap kali saya sempatkan berkunjung ke rumah Paman.
Sepertinya sebuah langkah dan indikasi baik karena saya pernah mengalami penolakan dari orang tua tentang proses ini. Mudah-mudahan jalan ini bisa saya jadikan langkah awal untuk melakukan negosiasi dengan orang tua.
Cerita-cerita itupun berlanjut dengan obrolan akrab lainnya. Memang saat itu sudah lama sekali saya tidak berkunjung ke rumah Paman di Bogor. Bibi saya pun mendukung sepenuhnya untuk segera menikah dengan akhwat itu. Ternyata akhwat itu pernah sekali main ke rumah paman, jadinya bibi pun sedikit tahu tentang dia. Wah.. wah .. ternyata dukungan itu muncul dengan sendirinya setelah sekian lama tidak saya dapatkan. Malu juga diri ini saat mereka melontarkan berbagai macam cerita dan dukungan. Merah padamlah wajah ini dibuatnya.
Apakah ini sebuah anugerah dan jawaban Allah atas semua do’a dan harapan yang sering terbersit di hati ini… ataukah Engkau akan menguji kembali saya dalam melakukan proses pernikahan ini… ataukah… Ah.. tidak pantas rasanya saya berprasangka kurang baik kepada-Mu ya Allah. Ampuni hamba Mu ini ya Allah. Semoga ini merupakan pertanda baik.
Malam semakin larut, namun cerita demi cerita itu tidak mau berakhir. Sepupu yang memang sangat bersemagat hingga mau menelpon akhwat tersebut. Namun alhamdulillah tidak jadi setelah saya ceritakan langkah-langkah serta hal-hal yang perlu dihindari dalam proses ini. Akhirnya da’wah itu bisa juga saya sampaikan di depan mereka setelah sekian lama tertahan di diri ini.
Kembali teringat sebuah kenangan yang selalu menjadikan diri ini tidak pantas dan berat untuk kembali melakukan sebuah proses menuju sebuah gerbang pernikahan. Bagaimana dengan sosialisasi dengan orang tua dan saudara-saudara lainnya, mengingat selama ini mereka selalu saja menentang proses ini. Sedih dan gundah hati itu seakan kembali menjadi boomerang bagi diri ini. Tapi saya yakin mungkin inilah akhir dari sebuah penantian yang telah lama ditunggu dengan tetesan airmata do’a, langkah goyah kehidupan serta hati yang rapuh.
Deg.. sebuah pesan singkat dari HP Nokia 6610ku baru saja dibaca. Seorang pengirim yang sudah lama tidak bersua dan berkomunikasi mengirimkan sebuah kabar gembira.
Masih teringat 6 bulan yang lalu saat saya sempatkan bertemu beliau di daerah kaki gunung Galunggung. Kita saat itu sempat bertegur sapa serta mencurahkan isi hati terutama masalah yang satu ini. Ternyata kita memang sudah saatnya untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Pertemuan itu diakhiri dengan ucapan do’a agar masing-masing segera dipertemukan dengan jodohnya. Ah.. sungguh indah do’a itu. Ternyata Allah mentakdirkan beliau terlebih dahulu melangkah.
Sebuah ucapan syukur dan do’a untuk saudaraku langsung terlontar dengan sendirinya dari mulutku ini.
“Wass. Barakallah akhi ane do’akan semoga lancar dan semoga bisa membangun keluarga samara. Do’akan agar ane bisa segera menyusul. Afwan ane tdk bisa datang, ins.A laen waktu ane akan silaturahim. Jzklh”
***
“Ass. Akh, sabtu besok kita ada rapat walimah Akh.. di rumah Ust.. Antum dimhn u datang. Wass”
Pesan singkat itu sengaja saya kirimkan ke teman-teman mengabarkan pertemuan untuk membahas masalah walimahan salah satu teman yang sebentar lagi akan dilangsungkan. Kebetulan saya ditunjuk sebagai ketua untuk acara tersebut.
Malamnya rapat berlangsung, teman-teman semuanya hadir termasuk calon pengantennya. Rapat yang penuh kehangatan serta sedikit canda tawa tersebut membicarakan beberapa agenda yang harus dilakukan. Ada sebuah perasaan syukur dan do’a yang terlontar diantara rekan-rekan saat itu. Karena kebanyakan yang hadir saat itu adalah yang masih ”sendiri”, jadinya benar-benar ramai dengan canda serta tawa menggoda calon penganten.
Seorang teman yang kocak sampai berkata “ayo siapa yang akan nyusul harap ngisi absen dulu, maklum antriannya banyak nih.”
“Siapa sih yang nggak mau nikah?” sahutku dengan semangatnya hingga teman-teman menggodaku bahwa berikutnya adalah saya yang akan menyusul untuk menikah. Amien. Jawabanku saat itu.
***
“Mam, antum dapat salam dari mertua saya, beliau menanyakan kabar antum tuch. Terus katanya udah nikah apa belum?” seorang teman berkata saat bertemu di acara Dauroh Tarqiyah.
“Wa’alaikumsalam wr.wb.” Jawabku secukupnya.
Kira-kira 4 bulan saya tidak ketemu dengannya, tepatnya saat dia menikah dan saya menjadi panitia tepatnya menjadi MC pada saat acara walimahannya. Saya tertegun mengingat Bapak mertuanya itu. Bapak yang teduh dan penuh dengan kharisma. Tidak menyesal saya mengenal sosoknya. Saat itu memang hanya saya yang sering diajak ngobrol dengannya dibandingkan dengan teman-teman panitia lainnya. Sampai-sampai beliau sempat menanyakan segala macam tentang saya termasuk sudah menikah atau belum. Saya ingat betul bagaimana nasihat beliau kepada saya untuk segera menikah karena beliau melihat saya sudah matang dan wajib untuk segera menikah. Deg. Hati saya bergetar saat beliau berkata seperti itu. Akhirnya saya hanya bisa minta do’anya agar segera bisa melangkah ke gerbang pernikahan.
***
“Akh, antum bisa datang ke rumah ana malam ini? Jzklh”
Pesan singkat, dan benar-benar singkat itu ternyata memiliki arti yang cukup dalam di hati ini. Pesan itu dikirimkan oleh guru ngaji saya. Sempat menebak-nebak gerangan ada apa hingga saya disuruh untuk ke rumahnya. Hari itu saya sempat melamun di kantor, ada apa ya? Tidak biasanya beliau memanggil mendadak seperti ini. Seorang guru ngaji yang sosoknya sudah saya anggap sebagai seorang Bapak hingga saya dan teman-teman menyebutnya “ABI” sebutan bapak dalam bahasa arab.
Malam itu saya diajak ngobrol berbagai macam topik diantaranya tentang kerjaan, keluarga hingga akhirnya beliau menanyakan tentang kesiapan menikah. Deg. kembali hati ini bergetar. Teringat do’a yang selalu terucap di sujud panjang sepertiga malam terakhir, do’a dari teman serta yang lainnya. Teringat kembali kenangan-kenangan yang pernah dialami. Apakah ini adalah saatnya saya untuk segera menggenapkan setengah dien itu? Sebelum sempat menjawab, beliau kembali bercerita bagaimana proses pernikahan beliau dengan istrinya yang penuh kenangan serta hikmah yang banyak. Tertunduk saya saat itu, malu nian diri ini. Kebingungan mulai mendera, apakah saya jawab ya ataukah tidak. Dengan bijaksananya akhirnya beliau memberikan nasihat tentang da’wah, pernikahan serta jama’ah. Nasihat panjang hanya bisa saya dengarkan sambil sesekali menganggukan kepala tanda setuju.
Setelah sekian lama mengobrol, akhirnya tiba juga saat saya menjawab pertanyaan itu. Dengan hati yang masih bimbang dan bergetar akhirnya jawaban tanda setuju terlontar sudah. Abi mengganggukan kepala tanda senang dan bahagia.
Abi sempat memberikan pesan jangan lupa istikharah untuk meminta petunjuk dalam menentukan pilihan tersebut karena beliau tahu sudah berapa kali saya proses ternyata berakhir dengan sebuah kekecewaan.
Sungguh sebuah pertemuan yang membuat diri ini terasa berarti. Seorang guru sekaligus sudah menjadi abi bagi diri ini mampu memberikan dorongan kembali untuk selalu bertawakal kepada Allah dalam mencari pasangan hidup ini.
Teringat kembali beberapa kisah dalam episode hidup ini. Sebuah perjalanan tentang proses pencarian jati diri. Selain karena kelemahan diri dalam memutuskan dan mengambil resiko, namun ternyata keadaan serta tekanan dari sekitar pun tidak sanggup dihadapi, namun saya yakin tentunya ada campur tangan Allah didalamnya.
***
“De, ada temen kantor nich, orangnya baik, cantik, agamanya kuat dan … kayaknya cocok deh dengan ade” Panjang lebar sepupuku bercerita tentang sosok akhwat itu. Sebuah anggukan kepala saat mendengarkan cerita itu, mengingat selama ini mereka sering sekali menanyakan bagaimana proses pencarian calon pasangan setiap kali saya sempatkan berkunjung ke rumah Paman.
Sepertinya sebuah langkah dan indikasi baik karena saya pernah mengalami penolakan dari orang tua tentang proses ini. Mudah-mudahan jalan ini bisa saya jadikan langkah awal untuk melakukan negosiasi dengan orang tua.
Cerita-cerita itupun berlanjut dengan obrolan akrab lainnya. Memang saat itu sudah lama sekali saya tidak berkunjung ke rumah Paman di Bogor. Bibi saya pun mendukung sepenuhnya untuk segera menikah dengan akhwat itu. Ternyata akhwat itu pernah sekali main ke rumah paman, jadinya bibi pun sedikit tahu tentang dia. Wah.. wah .. ternyata dukungan itu muncul dengan sendirinya setelah sekian lama tidak saya dapatkan. Malu juga diri ini saat mereka melontarkan berbagai macam cerita dan dukungan. Merah padamlah wajah ini dibuatnya.
Apakah ini sebuah anugerah dan jawaban Allah atas semua do’a dan harapan yang sering terbersit di hati ini… ataukah Engkau akan menguji kembali saya dalam melakukan proses pernikahan ini… ataukah… Ah.. tidak pantas rasanya saya berprasangka kurang baik kepada-Mu ya Allah. Ampuni hamba Mu ini ya Allah. Semoga ini merupakan pertanda baik.
Malam semakin larut, namun cerita demi cerita itu tidak mau berakhir. Sepupu yang memang sangat bersemagat hingga mau menelpon akhwat tersebut. Namun alhamdulillah tidak jadi setelah saya ceritakan langkah-langkah serta hal-hal yang perlu dihindari dalam proses ini. Akhirnya da’wah itu bisa juga saya sampaikan di depan mereka setelah sekian lama tertahan di diri ini.
Kembali teringat sebuah kenangan yang selalu menjadikan diri ini tidak pantas dan berat untuk kembali melakukan sebuah proses menuju sebuah gerbang pernikahan. Bagaimana dengan sosialisasi dengan orang tua dan saudara-saudara lainnya, mengingat selama ini mereka selalu saja menentang proses ini. Sedih dan gundah hati itu seakan kembali menjadi boomerang bagi diri ini. Tapi saya yakin mungkin inilah akhir dari sebuah penantian yang telah lama ditunggu dengan tetesan airmata do’a, langkah goyah kehidupan serta hati yang rapuh.
***
“Akhwat itu hanya minta waktu 2 minggu untuk pertimbangkan proses ini. Tenang aja, antum perbanyak do’a dan perdekat diri kepada Allah.”
Jawaban dari abi akhirnya saya dapatkan untuk menjawab kebingungan yang ada setelah menerima pesan singkat di HP dari guru ngaji akhwat yang akan diproses.
Beberapa waktu yang lalu saya dapat konfirmasi akan dilakukan pertemuan awal dengan akhwatnya sebagai tindak lanjut dari proses ini, namun ternyata tidak jadi karena alasan yang tidak saya fahami.
Apakah ini juga cobaan dari Allah. Saat diri ini bersemangat untuk kembali melangkah dengan semua dukungan yang ada. Sepertinya semuanya sudah di depan mata. Namun Allah ingin menguji kemantapan hati ini. Ya Allah mudahkanlah jalan ini. Amien.
***
“Barakallahu laka wabaraka ‘alaika wajam’a bainuhuma fi khair”
Ucapan do’a dan selamat dari teman-teman seperjuangan seakan menambah dan melengkapi kebahagiaan yang saat ini tengah dirasakan. Beberapa menit yang lalu telah terjadi sebuah perjanjian suci “mitsaqon ghalizo” antara bapak mertua dengan saya dihadapan penghulu dan para saksi serta hadirin yang menyaksikan prosesi akad nikah di sebuah mesjid jauh di pelosok kota Cianjur.
Alhamdulillah sebuah prosesi pernikahan akhirnya bisa terlaksana. Pernikahan saya dengan akhwat yang pernah diajukan oleh sepupu yang baru saya lihat saat ta’aruf, dan saya kenal setelah menikah. Sungguh indah sekali saat mengingat semua perjuangan dan do’a demi sebuah ibadah yang utama.
Ya Allah berkahilah keluarga ini sehingga menjadi keluarga yang senantiasa menjadikan Allah sebagai tujuan akhir, Al Qur’an sebagai panduan, Rasulullah sebagai tauladan, Islam sebagai dasar hidup dan Da’wah menjadi jalan hidup. Amien.
Jazakumullahu khairan katsiron atas do'a, kehadiran serta bantuannya sehingga bisa terlaksana akad dan walimatul ursy ane.
Subscribe to Posts [Atom]